Pages

Baduy, Sekarang dan Mendatang

"Lebih gampang beli, kalau bikin sendiri bisa, tapi repot"


Sambil menahan rasa pusing dan mual yang mulai terasa, saya berusaha tetap berkonsentrasi menahan guncangan yang disebabkan oleh jalanan rusak yang kami lewati. Entah karena asam lambungku mulai kumat karena belum diisi makanan berat sejak pagi tadi atau karena mabuk perjalanan akibat guncangan mobil yang melewati jalanan rusak selama ± 2 jam. Bahkan, di beberapa ruas jalan ada bekas longsoran yang dibiarkan begitu saja sehingga hanya tersisa satu jalur, sementara tidak ada tanda  atau marka jalan untuk memperingatkan pengguna jalan yang melewati daerah tersebut. Hati kecilku pun menyumpah dan tak habis pikir, masa iya pemerintah daerah melalui perangkat-perangkat desa yang ada tidak mengetahui kondisi tersebut dan tidak ada upaya sama sekali untuk memperbaikinya.

Saat itu awal November 2014, untuk kedua kalinya saya melewati jalan lintas Rangkasbitung – Ciboleger dengan tujuan Kampung Cibeo, Baduy Dalam. Kurang lebih satu setengah tahun yang lalu, tepatnya bulan Mei 2013 merupakan awal perkenalan saya dengan warga Baduy Dalam yang tinggal di Kampung Cibeo. Berawal dari postingan salah satu komunitas backpacker di media sosial mengenai perjalanan ke Baduy Dalam, saat itu saya langsung memutuskan untuk bergabung. Tiba pada hari H, kami berkumpul di stasiun Tanah Abang dan menunggu keberangkatan ke Rangkasbitung dengan kereta ekonomi Rangkasjaya. Saat itu tarif perpenumpang masih sekitar Rp. 5.000,-. Kondisi di dalam kereta sudah dapat diprediksi, panas dan penuh sesak, belum lagi pengamen, penjual minuman dan makanan yang mondar mandir, dan copet yang selalu mengintai.

Tiba di stasiun Tanah Abang, saya langsung menuju loket dan bermaksud memesan tiket untuk saya dan rombongan. Alangkah terkejutnya saya karena tarif kereta sudah naik menjadi Rp. 15.000,- dan untuk membeli tiket diwajibkan menyertakan kartu identitas penduduk yang asli. Setelah seluruh rombongan berkumpul dan tiket ada ditangan masing-masing, kami beranjak menuju peron keberangkatan. Melalui pengeras suara, petugas memberikan instruksi kepada penumpang agar menaiki kereta Rangkasjaya. Begitu menginjakkan kaki ke dalam kereta, seketika bayangan kondisi panas dan penuh sesak serta pengamen, tukang jualan dan copet yang mondar mandir pun sirna. Gerbong di dalam kereta terlihat bersih dan terdapat pendingin udara. Hebatnya lagi, jam 8.05 pagi kereta berangkat tepat waktu dan tiba di Rangkasbitung sesuai dengan jadwal yang tertera di tiket. Suasana di stasiun tampak penuh dengan penumpang, baik yang baru tiba maupun yang menunggu keberangkatan ke Jakarta. Selain rombongan kami, masih ada beberapa rombongan lain yang bertujuan sama, yaitu Ciboleger. Setelah bertemu dengan Kang Emen, warga Ciboleger yang menjadi penghubung antara pihak Baduy Dalam dengan tamu-tamu yang datang berkunjung, kami segera menuju ke angkot yang telah disiapkan. Hampir 75% kondisi jalan sepanjang Rangkasbitung – Ciboleger mengalami kerusakan, alhasil selama 2 jam, kami berenam bagaikan adonan kue yang dikocok di dalam angkot berwarna merah tersebut.

Dari balik kaca angkot, tampak beberapa rombongan tengah bergerombol di depan deretan toko yang ada di Ciboleger. Satu-satunya warung makan yang ada pun terlihat penuh oleh pengunjung, begitu pula dengan Alfamart yang merupakan satu-satunya minimarket di daerah tersebut. Kami segera menuju ke rumah Kang Emen untuk beristirahat dan menyantap makanan yang telah disiapkan. Tidak lama menyusul dua orang warga Baduy Dalam yang diperkenalkan oleh Kang Herman, yaitu Kang Sumiatin dan anaknya, Sariman, selaku pemandu dan pemilik rumah tempat kami menginap nanti malam.

Pengunungan Kendeng tampak berawan dan hawanya cukup panas. Jalan setapak yang kami lalui tampak kering dan berdebu, begitu pula air sungai Ciujung yang merupakan sumber mata air bagi warga Baduy tampak surut. Menurut Kang Sumiatin, daerah sekitar perkampungan Baduy sudah lama tidak turun hujan, kalaupun turun hujan hanya berupa gerimis dan berlangsung singkat. Hal ini kontras sekali dengan keadaan yang saya jumpai sewaktu kunjungan pertama. Saat itu, musim hujan baru berlalu, air sungai Ciujung tampak berlimpah dan arusnya cukup kuat, sementara untuk mencapai Cibeo, kami harus berjuang melewati jalanan setapak yang licin dan becek.

Dengan napas memburu, saya berusaha mempercepat langkah kaki mengejar anggota rombongan yang berada di depan. Sementara di belakang, Kang Sumiatin dan anaknya, Sariman, dengan sabar menemani rekan-rekan yang ada dirombongan belakang. Akhirnya saya berhasil menyusul rombongan di depan yang baru tiba di ujung tanjakan. Kebetulan ada penjual es cincau yang sedang mangkal di tempat tersebut, kami pun segera memesan es cincau untuk melepaskan dahaga kami. Tidak lama setelah melalui Kampung Gajeboh, kami tiba di jembatan bambu yang merupakan batas yang memisahkan Desa Baduy Luar dengan Baduy Dalam. Dari sini, perjalanan sudah tidak terlalu jauh, setelah melewati tanjakan terakhir, jalanan cenderung mendatar hingga perkampungan Cibeo. Sekitar jam 4.45 sore, kami pun tiba di Cibeo.

Mr. Sumiatin and his son.
Malam itu, kami menghabiskan waktu bercengkerama dengan keluarga Kang Sumiatin di rumahnya yang sederhana, khas suku Baduy. Tiang rumahnya didirikan  dari batang pohon bambu, sementara dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Rumah mereka sama sekali tidak menggunakan paku maupun perangkat pertukangan modern lainnya, tetapi hanya diikat dengan tali ijuk yang terbuat dari batang-batang tanaman yang telah dikeringkan. Rumah warga Baduy Dalam pun tampak seragam, selain berdiri ± 1 meter dari permukaan tanah, ruangan didalam rumahnya hanya terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama adalah bagian terluas yang menjadi ruang keluarga sekaligus ruang tamu, bagian kedua merupakan dapur dan terakhir merupakan tempat menyimpan perlengkapan keluarga. Teman-teman yang baru pertama kali ke Baduy tampak antusias bertanya kepada Kang Sumiatin seputar kehidupan dan budaya suku Baduy. Malam semakin larut, walaupun teman-teman masih antusias mendengarkan penjelasan Kang Sumiatin, namun percakapan malam itu harus kami akhiri karena kami harus beristirahat memulihkan tenaga kami untuk perjalanan pulang esok hari.

Sambil berusaha memejamkan mata dan menikmati alunan musik akustik khas  jangkrik di perkampungan Baduy, tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan sekaligus kekhawatiran, apakah warga Baduy Dalam dapat terus mempertahankan eksistensi adat dan budaya yang telah puluhan tahun mereka jaga dan lestarikan secara turun termurun? Dalam percakapan dengan Kang Sumiatin, saya menangkap beberapa keresahan, yang entah disadari atau tidak, tampaknya warga Baduy Dalam sendiri tak kuasa menahan arus peradaban yang semakin menghimpit sendi-sendi kehidupan mereka. Ambil contoh, saat ini ketiga kampung Baduy Dalam sudah membuka diri, terhadap kunjungan dari orang luar padahal dulu hanya satu kampung, dengan semakin banyaknya orang luar yang datang, suka atau tidak suka arus modernisasi pun akan ikut terbawa. Contoh lain, karena tinggal di dalam hutan, maka mereka harus pintar dalam mengolah bahan makanan, salah satu makanan favorit mereka adalah ikan asin. Tentunya untuk mengolah ikan asin dibutuhkan minyak goreng. Nah, untuk minyak goreng tersebut, Kang Sumiatin lebih memilih membeli daripada mengolah sendiri, seperti tuturnya berikut ini:

“Lebih gampang beli, kalau bikin sendiri bisa, tapi repot” kata Kang Sumiatin


Hal lain adalah timbulnya persaingan ekonomi antara orang Baduy Dalam dengan orang-orang dari luar yang datang untuk souvenir dan jasa urut.

“Kang, nanti kalo teman-temannya mau urut, jangan sama orang yang datang nawarin urut ya, tapi kasih tahu ke kita aja” kata Kang Sumiatin

“Oh…memangnya kenapa kang?” tanya saya

“Kalau sama orang yang nawarin urut itu, urutnya suka gak bener, lagipula mereka bukan orang Baduy. Begitu juga kalo mau beli gantungan atau gelang, jangan sama orang yang datang nawarin, suka dimahalin” jawab Kang Sumiatin

“Mereka juga bukan orang Baduy” tanya saya lagi 

“Bukan” jawab Kang Sumiatin

Jembatan Akar (The Root Bridges)
Note: 
  1. Hargai budaya dan adat istiadat setempat. Suku Baduy Dalam  memilikibeberapa pantangan, sebaiknya bertanyalah terlebih dahulu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. 
  2. Jaga kebersihan lingkungan dan buanglah sampah pada tempatnya. Ya, bawalah plastik sampahmu sendiri. Buanglah bekas bungkus makanan, botol minuman dan puntung rokok ke dalam plastik tersebut dan buanglah pada tempat yang telah disediakan. 
  3. Seperti kata pepatah “Banyak jalan ke Roma”, demikian pula ke Baduy Dalam. Jalur manapun yang anda pilih, sebaiknya melaporlah terlebih dahulu kepada Jaro yang diberi wewenang dan bayarlah restribusi masuk yang telah ditetapkan. Sekedar info, rumah Jaro berada di Desa Ciboleger.
  4. Persiapkan fisik dan jaga kesehatanan. Kampung Baduy Dalam terletak di pengunungan Kendeng, untuk mencapainya kita harus berjalan kaki (trekking). Contoh: jika kita masuk melalui Desa Ciboleger, maka kita akan trekking sejauh ±8 km atau sekitar 3-4 jam berjalan kaki. 
  5. Bawa perlengkapan dan peralatan secukupnya. Anda tidak perlu membawa sabun, shampoo maupun odol karena dilarang digunakan di Baduy Dalam. 
Silahkan klik di http://facebook.com/Kalamantana untuk melihat foto-foto Baduy lainnya.

Kembali ke Gunung Gede

Gunung Gede bisa dikatakan salah satu gunung yang paling sering didaki oleh kalangan penggiat alam bebas. Karena lokasinya yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, Bandung dan sekitarnya, maka hampir setiap pekan dapat dijumpai para pendaki mencoba mendaki gunung setinggi 2.958 m.dpl itu. Gunung Gede berada dalam lingkup Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang merupakan salah satu dari lima taman nasional yang pertama kali diumumkan di Indonesia pada tahun 1980. TNGGP terletak di wilayah tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Secara geografis, TNGGP berada pada lintang 106°51' - 107°02' BT dan 64°1' - 65°1 LS. Suhu rata-rata di puncak gunung Gede 18°C dan di malam hari suhu puncak berkisar 5°C, dengan curah hujan rata-rata 3.600 mm/tahun.

Untuk mendaki Gunung Gede, pihak TNGGP menyediakan beberapa jalur, yaitu jalur Cibodas, Gn. Putri, dan Selabintana (Sukabumi). Sebelum mendaki, para pendaki diwajibkan mendaftarkan diri kepada pihak TNGGP, baik secara langsung di kantor pusat TNGGP yang terletak di Cibodas maupun secara online melalui situs resmi TNGGP maksimal 3 hari sebelum pendakian.

Cibodas merupakan gerbang utama, selain jalur pendakiannya yang relatif lebih landai, disepanjang jalur Cibodas dapat dijumpai beberapa pemandangan seperti Telaga Biru, Air Terjun Cibereum, Air Panas, dan sumber air yang jernih di Kandang Badak. Jalur Selabintana merupakan jalur yang paling jarang dilalui pendaki karena jalurnya yang lebih panjang dan curam, serta lebih menantang sehingga dibutuhkan persiapan yang lebih matang.

Pendakian kali ini, kami putuskan melalui jalur Gunung Putri. Perjalanan dimulai dengan menumpang bus jurusan Jakarta-Cianjur melalui terminal bus Kampung Rambutan. Akibat gerbang tol Ciawi ditutup karena kunjungan Presiden SBY ke Istana Cipanas, maka bus yang kami tumpangi harus mengambil jalan memutar melalui rute Jonggol. Dampaknya waktu tempuh yang seharusnya hanya 2 jam molor menjadi 4 jam lebih, dan kami terpaksa turun di kota Cianjur. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan dengan menumpang angkot jurusan Cianjur-Pasar Cipanas. Dari Cipanas kami masih harus melanjutkan perjalanan ke Desa Sukatani, Gn. Putri. Karena saat itu sudah tengah malam dan Puncak serta sekitarnya barusan diguyur hujan lebat, maka kami pun terpaksa mencarter angkot. Setibanya di Desa Sukatani, Gn. Putri, kami menumpang istirahat di rumah salah satu penduduk.



















Keesokan paginya, sebelum melakukan pendakian, terlebih dahulu kami melakukan pendaftaran ulang di Pos GPO (1.450 m.dpl). Pagi itu, cuaca sangat mendukung walaupun kami tidak dapat melihat puncak Gunung Gede karena tertutup oleh kabut, namun sepanjang perjalanan sampai dengan batas hutan, kami disuguhi pemandangan ladang dan para petani yang sedang menggarap lahan mereka. Setelah sampai di area hutan pinus yang merupakan Hutan Produksi yang dikelola oleh KPK Perhutani Cianjur, kami melewati sebuah sungai kecil.

Setelah beristirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos Tanah Merah (1.850 m.dpl). Setibanya disana, saya cukup kaget melihat kondisi yang ada sekarang. Seharusnya di Pos ini terdapat sebuah rumah panggung yang merupakan pos penerangan TNGP. Terakhir kali saya kemari, sekitar tahun 2007, rumah panggung tersebut masih ada walaupun kondisinya tidak terawat dan banyak bagian yang bolong karena kayunya dijadikan kayu bakar oleh beberapa pendaki yang tidak bertanggungjawab. Kini, rumah panggung tersebut sudah tidak ada dan hanya menyisakan beberapa bagian yang dicor semen.

Perjalanan pun kami lanjutkan menuju Pos Legok Lenca (2.150 m.dpl) dan Buntut Lutung (2.300 m.dpl). Setelah pos ketiga, cuaca mulai berkabut, kadang disertai tetesan air menyertai langkah kami menelusuri jalur pendakian yang semakin terjal dan curam, dan semakin menguras tenaga kami. 
Tiba di Pos Lawang Seketeng (2.500 m.dpl) kami bertemu dengan satu keluarga pendaki, suami istri dan anaknya yang tertidur lelap di tas gendong berbentuk ransel. Saya perkirakan, anaknya baru berumur sekitar 3-4 tahun. Saya sungguh kagum melihat keluarga pendaki tersebut. Selama ini saya hanya pernah membaca tentang salah satu pendaki yang sering mengajak anak perempuannya dalam setiap petualangan mereka, yaitu Om No (Alm. Norman Edwin). Sekarang, saya melihat sendiri, ternyata ada keluarga lain yang sudah memperkenalkan kegiatan alam kepada anak-anak mereka sejak belia. Satu hal yang jarang sekali ditemukan di keluarga-keluarga saat ini, yang justru akan melarang anak-anak mereka untuk mengikuti kegiatan alam bebas dengan berbagai macam alasan karena menganggap kegiatan ini hanya kegiatan yang sia-sia.

Sebelum mencapai Alun-alun Timur, kami melewati Pos Simpang Maleber yang berada pada ketinggian 2.625 m.dpl. Sore itu, warna langit kebiruaan disertai cahaya keemasan di ufuk barat menyambut kedatangan kami di Alun-alun Suryakencana (2.750 m.dpl), yang merupakan sebuah tanah lapang seluas 50 ha yang ditutupi hamparan bunga edelweiss (anaphilis javanica). Sesuai dengan rencana, perjalanan kami teruskan hingga ke titik nol Alun-alun dan mendirikan tenda disana. Sungguh disayangkan hamparan bunga edelweiss sudah tidak sebanyak dulu yang diakibatkan oleh kebakaran yang sempat terjadi beberapa kali di Alun-alun Suryakencana. Belum lagi ulah beberapa oknum pendaki yang dengan sengaja menebang dan menjadikan pohon edelweiss sebagai kayu bakar.

Pagi ini cuaca sangat cerah, langit biru dengan hamparan warna kuning savana dan puncak Gunung Gumuruh (2.927 m.dpl) tampak di depan kami. Setelah menyantap makanan yang telah disiapkan dan merapikan seluruh peralatan ke dalam ransel, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Gede.


Perjalanan menuju puncak didominasi oleh bebatuan terjal, dan hamparan pohon cantigi (Vaccinium Varingiaefolium). Sementara dibelakang kami sebagian besar Alun-alun Suryakencana sudah ditutupi oleh kabut. Akhirnya, setelah mendaki selama kurang lebih satu setengah jam, kamipun tiba di puncak Gunung Gede. Cuaca disekitar puncak Gunung Gede sudah ditutupi oleh kabut sehingga tidak banyak pemandangan yang bisa dilihat. Setelah mengambil beberapa foto, kami pun melanjutkan perjalanan turun ke Cibodas. 

Rinjani, A Heaven On Earth

View Gn. Rinjani dari Pos I Pemantauan
Saya harus sepakat jika ada yang mengatakan bahwa Gunung Rinjani adalah salah satu gunung yang terindah. Terletak di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), Gunung Rinjani dengan ketinggian 3.726 m dpl merupakan gunung ketiga tertinggi di Indonesia setelah Carstenz Pyramid (4.884 m dpl) dan Gunung Kerinci (3.805 m dpl), atau merupakan gunung berapi kedua tertinggi di Indonesia setelah Gunung Kerinci. 

Gunung Rinjani merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) yang memiliki luas 41.330 ha dan merupakan suatu kawasan pelestarian alam, pada tanggal 3 Agustus 2005 melalui Kepmenhut No. SK.298/Menhut-II/2005 diputuskan kawasan ini diangkat menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Secara geografis, TNGR terletak pada 8°18’ - 8°33’ LS, 116°18’ - 116°32’ BT, sedangkan secara administratif meliputi tiga kabupaten yaitu: Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Karena terletak di zona ekosistem peralihan antara Asia dan Australia dalam garis Wallace, membuat Gunung Rinjani memiliki bentukan alam yang sangat lengkap, mulai dari savana, hutan tropis dan danau alam yang sangat indah. Gunung Rinjani memiliki beberapa tipe ekosistem dan vegetasi yang cukup lengkap, mulai dari hutan tropis dataran rendah (> 1500 m dpl) sampai hutan hujan tropis pegunungan (1.500 – 2.000 m dpl) yang masih utuh dan berbentuk hutan primer, hutan cemara dan vegetasi sub alpin (> 2.000 m dpl).

Tidaklah sulit bagi anda yang ingin menikmati keindahan alam di Gunung Rinjani, karena pihak TNGR telah memberdayakan penduduk setempat menjadi guide dan porter yang siap mengantar anda hingga ke puncak Rinjani. Anda hanya perlu mengeluarkan sejumlah uang untuk menggunakan jasa guide dan porter tersebut.

Saat ini terdapat 5 jalur pendakian yang telah disediakan, yaitu Senaru, Sembalun, Torean, Timbanuh dan Benang Stokel. Jalur Senaru dan Sembalun merupakan jalur yang paling sering dilalui oleh para pendaki terutama pada musim pendakian sekitar bulan Mei-Oktober. Sedangkan jalur Torean merupakan jalur yang sering digunakan oleh penduduk lokal yang ingin melakukan ritual adat atau keagamaan di Danau Segara Anak. Adapun jalur Timbanuh dan Benang Stokel adalah jalur yang baru di buka sehingga fasilitas dikedua jalur ini masih minim.

Jalur Senaru (Pintu Utara) 
Akses: Mataram – Anyar Bayan – Senaru

Pos Cemoro Lima - Senaru
Jalur ini merupakan jalur yang paling ramai digunakan, karena selain lokasinya tidak terlalu jauh dari Gili Trawangan, banyak pengunjung terutama wisatawan asing yang hanya ingin menikmati sunrise dan sunset di plawangan serta keindahan Danau Segara Anak tanpa harus bersusah payah menuju puncak Rinjani.

Rute perjalanan dimulai dari Rinjani Trek Centre (RTC) 601 m dpl melewati perkampungan dan lahan perkebunan penduduk hingga tiba di Jebak Gawah 720 m dpl (KM 1,5) yang merupakan pintu Senaru – Pos I 915 m dpl (KM 2,5) – Pos Extra 1.165 m dpl (KM 3,8) – Pos II Montong Satas 1.500 m dpl (KM 4,9) – Pos III Mondokan Lokak 2.000 m dpl (KM 7,4) – Pos Cemara Lima (KM 8,7) – Plawangan Senaru 2.641 m dpl (KM 9,2) – Danau Segara Anak 2.008 m dpl (KM 12).

Waktu tempuh normal yang dibutuhkan dari pos RTC – Pos II ± 3 jam, Pos II – Pos III ± 2 jam, Pos III – Plawangan Senaru ± 2 jam, Plawangan Senaru – Danau Segara Anak ± 2 jam.

Jalur Senaru merupakan jalur terpendek menuju Danau Segara Anak. Jalur ini cukup rimbun karena terdapat hutan primer yang masih terjaga ekosistemnya, namun jalur ini cukup terjal, setelah Pos III hingga Plawangan Senaru, anda dapat menikmati pemandangan lanskap yang sungguh indah. Sumber air dapat anda peroleh di Pos II dan Pos Cemara Lima.

Jalur Sembalun (Pintu Timur) 
Akses: Mataram – Aikmel – Sembalun Lawang

Plawangan Sembalun
Jalur ini sering digunakan oleh pendaki yang bermaksud langsung menuju Puncak Rinjani. Jalur Sembalun tidak seterjal jalur Senaru, jalur ini didominasi oleh padang savana sehingga akan membuat anda lebih cepat dehidrasi dan letih akibat teriknya sinar matahari, namun hal ini terobati oleh indahnya pemandangan lanskap di sepanjang jalur ini. 

Rute perjalanan ± 8 km di mulai dari Pos Rinjani Information Centre 1.156 m dpl – Pos I Pemantauan 1.300 m dpl – Pos II Tengegean 1.500 m dpl – Pos III Pada Bolong 1.800 m dpl – Plawangan Sembalun 2.639 m dpl – Puncak Rinjani 3.726 m dpl

Waktu tempuh normal yang dibutuhkan dari Pos Rinjani Information Centre – Pos I ± 2 jam, Pos I – Pos II ± 1 jam, Pos II – Pos III 1 jam, Pos III – Plawangan Sembalun ± 4 jam, Plawangan Sembalun – Puncak Rinjani ± 3,5 jam, Plawangan Sembalun – Danau Segara Anak ± 3 jam.

Jalur Sembalun memiliki pemandangan lanskap yang sangat indah, jadi bagi anda yang senang memotret, persiapkan kamera anda sebaik-baiknya, bawalah memory card dengan kapasitas minimal 8 GB, battery cadangan dan  pergunakanlah lensa wide. Sebelum mencapai Pos III anda akan bertemu persimpangan jalur, yaitu jalur Penyesalan (kanan) dan Penderitaan (kiri). Saat ini jalur Penyesalan sudah tidak digunakan lagi karena jembatannya sudah rubuh dan jalan setapaknya sudah tidak begitu jelas. Dari Pos III anda akan melewati 9 bukit hingga tiba di Plawangan Sembalun. Sumber air dapat diperoleh di Pos I, III dan Plawangan Sembalun.

Plawangan Sembalun merupakan sebuah pos terakhir sebelum menuju puncak. Ditempat ini anda dapat mendirikan tenda untuk beristirahat. Pada saat ke Puncak, sebaiknya anda bangun pada jam 1 malam agar anda memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan sarapan. Pergunakan pakaian yang ringkas dan tetap menjaga kehangatan tubuh karena pada saat dini hari cuacanya sangat dingin, suhu udara terendah mencapai 12 °C disertai tiupan angin yang cukup kencang. Bagi anda yang pertama kali mendaki gunung, sebaiknya perjalanan dilakukan dengan perlahan untuk menghindari anda terkena AMS (Altitude Mountain Sickness) karena perubahan ketinggian yang cukup signifikan mengakibatkan kadar oksigen semakin tipis. Gejalanya seperti dehidrasi, mual dan pusing. Penanganannya cukup sederhana, istirahatkan korban, berikan air minum yang cukup, bawa ke tempat yang lebih rendah, bisa juga diberikan obat-obatan yang mengandung Acetazolamide dan Deksametason, tetapi sebaiknya konsultasikan terlebih dahulu dengan dokter. Langkah terakhir adalah selalu persiapkan tabung oksigen.

Danau Segara Anak

Jalur Torean 
Akses: Mataram – Anyar – Torean Desa Loloan

Jalur ini jarang digunakan oleh pendaki kecuali penduduk lokal yang bermaksud mengadakan ritual keagamaan atau tradisi adat di Danau Segara Anak. Karena jarang dilalui, sangat disarankan untuk menggunakan jasa porter yang dapat dengan mudah kita peroleh di Desa Torean.

Sebaiknya pendakian dilakukan di pagi hari, walaupun jalur ini tidak seterjal jalur lainnya tetapi jalur ini lebih rawan karena di kiri kanan jalur terdapat jurang sehingga kita perlu ekstra hati-hati. Jalur ini akan melewati lembah dan punggungan hingga tiba di Segara Anak. Untuk mencapai Segara Anak, kita akan melewati satu-satunya pos dengan jarak tempuh ± 2,5 jam, setelah melewati pos kita akan berjalan di lembah yang terletak disisi utara Rinjani. Perjalanan selanjutnya akan mengikuti aliran sungai Kokok Putih dan melewati beberapa bukit hingga tiba di Plawangan Torean. Setelah melewati Sungai Kokok Putih, kita akan tiba di Goa Susu dan berlanjut ke kolam air panas yang tidak jauh dari Segara Anak. Waktu tempuh normal antara 9 – 10 jam.

Adapun obyek-obyek yang menarik di sepanjang jalur ini, yaitu Air Terjun Penimbungan, Air Terjun Pancor Mas, Gua Susu dengan kolam hangatnya, Air Terjun Panas-Dingin serta menyebrang sungai Kokok Putiq merupakan pengalaman menarik tersendiri.

Rute perjalanan adalah Jebak gawah (batas kawasan TNGR) – Pos I Birisan Nangka Greneng – Mondokan Rei Paok Tampol – Plawangan Penimbungan – Plawangan Propok – Joplo Julat – Sungai Kokok Putiq – Pancor Mas – Gua Susu – Danau Segara Anak.

Jalur Timbanuh
Akses: Mataram – Masbagik – Timbanuh desa Pengadangan

Jalur ini merupakan jalur yang baru diresmikan oleh TNGR sehingga fasilitas dan sarana pendukung lainnya sangat minim di sepanjang jalur ini. Kelebihan jalur ini adalah ketersediaan sumber mata air yang cukup banyak dan aliran sungai yang mengalir sepanjang tahun.

Pendakian di jalur ini hanya direkomendasikan hingga Plawangan Cemoro Rompes dan Puncak Selatan Rinjani (3.564 m dpl), sedangkan perjalanan ke Danau Segara Anak tidak diperbolehkan karena selain medan yang curam dan berbahaya, jalur ini belum terdapat fasilitas pengamanan untuk keselamatan pendaki, sehingga sangat disarankan pendaki yang menggunakan jalur ini bukanlah pendaki pemula.

Jalur ini menyuguhkan pemandangan dan panorama alam dengan keunikan dan kekhasan flora dan fauna serta trekking trail yang merupakan tantangan tersendiri bagi pendaki. Dari Plawangan Cemoro Rompes, kita juga dapat melihat Gunung Baru Jari dengan jelas dan ditempat ini terdapat padang edelweiss.

Rute perjalanan adalah pintu gerbang desa Jati – Pos I Kokok Blimbing – Pos II Pancor Tayib – Pos III Momot Yamin – Pos IV Cemara Rompes dengan waktu tempuh antara 8 – 10 jam.

Jalur Benang Stokel 

Jalur ini merupakan jalur baru dan masih berupa jalur rintisan. Penamaan Benang Stokel karena terdapat dua air terjun di Dusun Pemotoh, Desa Aik Berik, Kecamatan Batu Keliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah, yang merupakan pintu masuk jalur ini. Kedua air terjun tersebut, yaitu air terjun Benang Stokel dan air terjun Benang Kelambu.

Desa Aik Berik terletak sekitar 30 km sebelah Timur Mataram. Tidak terdapat akses kendaraan umum menuju Desa Aik Berik, sehingga pengunjung disarankan membawa kendaraan sendiri atau mencarter dari Mataram. Akses jalannya pun tidak semulus menuju Sembalun dan Senaru.

Jalur ini menawarkan pemandangan yang tidak kalah menarik dan kita dapat melihat Rinjani dari sisi yang berbeda. Jalur ini merupakan jalur yang telah digunakan oleh para pemburu dan penduduk lokal yang bermaksud memancing di Danau Segara Anak. Untuk menuju Danau Segara Anak dibutuhkan waktu tempuh antara 9 – 10 jam.

Mengingat jalur ini masih berupa jalur rintisan, sangat disarankan menggunakan jasa porter atau guide dan diharapkan bukan pendaki pemula yang menggunakan jalur ini. Jalur ini banyak memiliki sumber mata air, namun pendaki yang menggunakan jalur ini tidak dapat menuju ke Puncak Rinjani karena medannya yang curam dan berbahaya.

Lutung

Burung Sikatan Belang
Beberapa lokasi wisata lain yang dapat dikunjungi setelah melakukan pendakian, diantaranya: Air Terjun Sendang Gila yang terletak di Senaru, Desa Suku Sasak di Senaru, atau mencoba menikmati suasana desa baik di Senaru atau Sembalun. 

Sedangkan beberapa catatan yang perlu diperhatikan oleh para pendaki, yaitu bagi para pendaki yang menggunakan kendaraan umum, sangat disarankan melakukan perjalanan pada pagi hari, karena kebanyakan kendaraan umum di Lombok hanya beroperasi hingga siang hari. Selanjutnya para pendaki juga diharapkan tidak meninggalkan tenda dan makanan dengan sembarangan, terutama pada saat menuju Puncak Rinjani. Sebaiknya ada temen yang tinggal menjaga tenda dan makanan, atau makanan-makanan tersebut dibungkus dengan rapi dan dimasukkan ke dalam ransel. Karena di bebebapa lokasi, banyak sekali terdapat lutung yang akan dengan senang hati menguras isi tenda dan ransel anda untuk mengambil makanan yang berceceran.

Silahkan klik di https://www.facebook.com/Jelajah.Borneo88 untuk melihat foto-foto lainnya

Rafting Kalibaru: Sisi Lain Katulampa

Siapa yang tidak kenal dengan kota Bogor? Sebuah kota yang terletak kurang lebih 50 km sebelah selatan Jakarta, dengan luas 11.850 Ha yang membentang dari 106°48’ BT dan 6°26’ LS dengan tingkat curah hujan rata-rata pertahun sekitar 3.500 – 4.000 mm, menjadikan kota Bogor dikenal juga sebagai Kota Hujan. Selayaknya kota yang dikelilingi wilayah pengunungan, maka Kota Bogor yg dikelilingi oleh Gunung Salak, Gunung Gede dan Gunung Pangrango, memiliki potensi wisata alam yang menarik. Sebut saja kawasan Gunung Bunder yang terletak di kecamatan Pamijahan, dengan ketinggian antara 750-1.050 m dpl, selain merupakan lokasi perkemahan dengan fasilitas pelatihan luar ruang (outbound training), di kawasan ini terdapat beberapa curug (air terjun), yaitu Curug Cihurang, Curug Ngumpet, Curug Cigamea dan Curug Seribu, sedangkan bagi yang suka trekking, terdapat jalur trekking menuju Kawah Ratu. Selain itu terdapat Curug Luhur dan Curug Nangka di Ciapus dan Curug Cilember dikawasan Cisarua, Puncak.

Selain lokasi wisata alam yang disebutkan diatas, Kota Bogor yang merupakan hulu Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane menyediakan beberapa lokasi wisata rafting yang menarik dan dikelola dengan baik oleh operator yang terlatih, sebut saja rafting di sungai Cisadane, Cianten, Citanduy dan yang paling baru yaitu Kalibaru.
Kalibaru adalah anak sungai dari Ciliwung atau lebih tepatnya, merupakan Saluran Irigasi Katulampa, yaitu sebuah kanal buatan yang dibangun sejak jaman Belanda pada tahun 40an. Kanal ini dibangun bersamaan dengan dibangunnya Bendungan Katulampa. Kanal ini berawal dari Bendungan Katulampa dan berakhir di Muara Jakarta. Awalnya kanal ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan air irigasi area pertanian yang tersebar di daerah Bogor, Depok dan Jakarta, namun seiring perkembangan jaman, area pertanian pun sudah berubah menjadi wilayah pemukiman.

Sungai Kalibaru berada dipinggir jalan Sukaraja Katulampa, Desa Sukaraja, Kecamatan Kedunghalang, Bogor. Bagi yang menggunakan kendaraan pribadi melalui jalan tol Jagorawi, setelah keluar dari Gerbang Tol Bogor, ambil jalur kiri agar bisa langsung keluar di pintu menuju Bogor Baru, setelah belok kiri dan masuk ke Perumahan Bogor Raya Lakeside, ikuti jalan utama ke arah Hotel Novotel Bogor, kemudian keluar dari perumahan melalui pos belakang. Arahkan kendaraan mengikuti jalan Sukaraja hingga tiba di Perumahan Griya Soka, kurang lebih 3 meter dari depan perumahan terdapat jalan masuk turun melalui tangga ke lokasi finish point berupa saung yang tertata apik dan terletak persis di tepi sungai. Sedangkan bagi yang menggunakan kendaraan umum, dari terminal Baranangsiang, naik angkot 05 ke arah Cimahpar/Sukaraja dan minta diturunkan persis di depan perumahan Griya Soka.

Sungai Kalibaru memiliki lebar antara 5-20 meter dengan tingkat kesulitan grade II-III. Adapun jeram-jeramnya yaitu jeram tirai, jeram kolong, jeram pengantin, jeram S, jeram bangor, jeram penyempitan dan jeram penipuan, selain itu terdapat 3 Dam yang akan dilalui. Momen paling mendebarkan adalah ketika perahu harus melalui Dam setinggi 7 meter. Sebelum meluncur turun, perahu melalui boom, seluruh penumpang harus duduk dan membungkuk di dasar perahu, kemudian perahu meluncur turun dengan posisi hampir tegak lurus. Perahu yang berhasil meluncur turun dengan mulus, dapat memilih beristirahat di sisi kanan sungai atau langsung meluncur ke Jeram S, sebuah belokan ke kiri dengan jeram yang cukup menantang. Untuk melalui Jeram S, perahu harus diarahkan ke kiri sungai terlebih dahulu, setelah itu perahu harus segera diarahkan ke kanan sungai. Beberapa perahu berhasil meluncur dengan mulus, namun sebagian ada yang terbalik dan membuat semua penumpangnya terlempar keluar. Selain Dam 7 meter, masih terdapat 2 Dam lain dengan ketinggian sekitar 3 meter yang tidak kalah mendebarkan. 


Adapun paket pengarungan yang ditawarkan oleh Braveland Adventure selaku pengelola rafting di Kalibaru, yaitu paket family, adventure, great adv dan River Boarding dengan eouharga antara Rp. 200.000 – Rp. 285.000. Selain paket rafting, kita juga bisa mencoba paket Paintball yang disediakan.

Secara keseluruhan, rafting di Kalibaru sangat menarik bagi pemula atau yang baru pertama kali mencoba arung jeram, yang paling mendebarkan dan memacu adrenalin adalah ketika melewati ke 3 Dam dengan ketinggian antara 3–7 meter. Selain itu, sepanjang aliran sungai Kalibaru banyak terdapat sampah yang dibuang oleh penduduk yang tinggal di sepanjang Jalan Sukaraja, dan tentunya hal ini memberikan sedikit catatan minus pada saat mengarungi sungai Kalibaru.

Silahkan klik di https://www.facebook.com/Jelajah.Borneo88 untuk melihat foto-foto lainnya